Aku dan kamu sudah saling kenal sejak seminggu yang lalu. Dalam rentang waktu tersebut aku tahu kamu tidak sedingin es seperti yang pernah kuterka sebelumnya. Di balik perawakanmu yang keras seperti karang di laut, bermukim satu siluet lembut yang penuh kasih. Mungkin kamu akan tersenyum kecil tatkala membaca perumpamaan ini. Dan bisa jadi kamu tertawa karena kata-kata tadi terasa picisan. Biarpun begitu, aku tak peduli. Karena hanya itu yang mampu kuungkap.
Sebenarnya aku ingin berucap aku senang bersamamu. Setiap gerak-gerikmu seperti magnet yang membuatku terus-terusan menatapmu. Aku penasaran. Daya tarik macam apa yang kamu punya. Bahkan aku juga tak bisa membunuh rasa penasaran itu saat rasa kantuk sudah mennguasaiku.Ini gila! Belum pernah aku terinfeksi oleh sesuatu yang berasal dari makhluk yang disebut manusia.
Berdua denganmu, seperti mengenakan sweater hangat saat embun pagi masih mengambang di puncak-puncak bukit. Kamu hangat, dan kehangatan itu aku yakini bukan sebagai kehangatan sesaat. Tiap jengkal sweater itu, yang membungkus kulitku, mampu membuatku bernafas sebagaimana mestinya.
Suatu kali pernah kudapati kamu bermenung di balkon. Kamu pandangi rekahan-rekahan merah dan magenta di ufuk barat. Tatapanmu berat dan sendu. Jika aku adalah langit yang kamu tatap itu, tak akan kubiarkan sejumput sendu bersemanyam di kedua bola matamu. Akan kuganti sang merah dan magenta menjadi beberapa barisan aurora.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyaku setelah berdiri di sebelahmu.
"Langit itu," ucapmu datar.
"Ada apa dengan langitnya?"
Kamu mendesah pelan. Ringan kepalamu menoleh padaku lalu kita pun bertatapan untuk beberapa detik. "Langit itu seperti hati. Kadang mendung, kadang cerah."
Senyap. Desau angin sore menelisik helai-helai rambut kita. Kata-katamu yang baru saja kudengar sudah membuatku tahu bahwa ada sesuatu yang menyesaki pikiranmu. Aku tidak tergerak untuk memberi pertanyaan lanjutan.
Sore semakin jingga, cerah tanpa awan. Sebelum meninggalkanmu dan lamunananmu, kucari sebuah kata yang bisa kubaca dari wajahmu. Kamu masih memandangi langit senja di ufuk barat. Kamu tak lagi menoleh padaku. Dan tanpa kuhendaki, senja yang hangat terasa seperti pagi yang basah dan berembun. Dingin.
* * *
Pagi-pagi buta aku terjaga. Tidak biasanya aku begini. Kulirik jam dinding. Pukul tiga dini hari. Aku mengosok-gosok kedua mataku kemudian turun dari ranjang. Rasa haus yang mendadak muncul secara otomatis menuntunku menuju dapur di lantai dasar.
Setiap anak tangga yang kuinjak berdecit. Mau tidak mau kucoba untuk turun dengan pelan. Aku tidak ingin membangunkan yang lainnya. Apalagi kalau sampai membangunkanmu. Terhitung sejak percakapan kita tadi sore, baik aku maupun kamu tidak saling menyapa. Hanya seulas senyum yang saling kita berikan bila kita berpas-pasan. Dalam konsep ini, aku yakin senyum itu hanyalah sebentuk perjuangannmu untuk menyatakan bahwa kamu baik-baik saja. Padahal sebenarnya tidak.
Langkahku terhenti pada anak tangga terakhir. Lampu ruang tengah masih menyala, berikut televisi berukuran tiga puluh inchi. Aku menggeleng. Ingin tahu siapa yang telah melakukan kesembronoan ini. Mataku tertumbuk pada remote televisi yang ada di atas meja. Reflek aku melangkah menuju meja tersebut lalu tersadar bahwa ada seseorang yang sedang tidur pulas di sofa panjang. Rupanya kamu tertidur di sini,membiarkan seorang presenter di layar kaca bercuap-bercuap sendiri tanpa ada yang menonton.
Sebelum mendapatimu, kedua kelopak mataku berat. Namun, seperti yang sudah-sudah, kedua bola mataku akan terbuka bila parasmu telah ada di hadapku. Aku yakin Tuhan pasti memahatmu dengan ketelatenan yang tinggi sehingga tak pernah kuasa aku mengabaikan segala yang ada padamu. Bila ada yang bilang cinta itu tak melirik tampilan fisik, itu perlu diklarifikasi. Karena pada hakikatnya apa yang tampak di luar, mempengaruhi apa yang akan tampak dari dalam. Kendatipun begitu, tak perlu salahkan aku kalau aku tergoda karena parasmu.
Kamu tidur seperti anak kecil. Berbantalkan sweater abu-abu tanpa selimut. Aku tersenyum. Kamu tetap menarik, bahkan saat tidur.
"Kamu belum tidur?"
Aku berbalik. Seorang laki-laki berusia setengah abad tengah menatapku. Aku bergeming, "Saya terjaga."
"Dia?" laki-laki yang biasa dipanggil Koh Achan itu kini melirik kamu yang masih tidur, di belakangku. "Kenapa dia tidur di situ?"
"Ketiduran." Ujarku datar lalu menunjuk televisi yang masih menyala. Koh Achan geleng-geleng. Segera kumatikan televisi dan ia pun berlalu. Kembali ke kamarnya di lantai atas.
Sekarang, ruang tengah senyap. Cuma ada aku dan kamu di sini. Indera penglihatanku kembali menikmati parasmu dalam decak kagum yang tak pernah terucap. Bukannya aku egois, hanya saja aku tak ingin kamu berpikir bahwa aku tipikal orang yang mengejar kesempurnaan jasmani sementara kesempurnaan rohani dikesampingkan. Jadi, akan lebih manusiawi kalau rasa kagumku padamu tetap kupendam di dasar hati. Dan jika waktu bermurah hati padaku, aku yakin kekaguman itu akan keluar sendiri dengan cara yang tak diduga-duga. Seperti orang bilang, semua indah pada waktunya.
Kamu menggeliat. Memeluk tubuhmu sendiri untuk memberikan sedikit kehangatan. Sontak aku sadar. Malam semakin dingin dan sudah pasti dalam kondisi macam ini kamu butuh selimut. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Intuisiku bilang, tidak seharusnya aku menikmati parasmu manakala kamu tengah kedinginan. Kutinggalkan kamu sejenak lalu melangkah ke kamarmu yang pintunya masih terbuka. Kupagut selimut tebal bermotif daun-daun bambu. Tanpa kumau, aroma tubuhmu tercium.
Selimutmu lucu juga. Karena di setiap sudutnya ada gambar kepala Panda. Aku tersenyum kecil. Mencoba menerka bagaimana parasmu waktu kecil dulu. Pasti kamu tidak kalah lucu bila dibandingkan dengan hewan herbivora itu. Pipi yang berisi, bola mata yang besar, dan mulut yang masih belum memiliki gigi. Kamu pasti menggemaskan.
Kututup pintu kamarmu tanpa menimbulkan suara gaduh. Aku yakin, kamu akan terus tidur di sofa itu sampai fajar menyingsing. Jadi bisa kupastikan kamu tidak akan kembali ke kamarmu kecuali kalau kamu ingin menaruh selimut pandamu di tempatnya semula.
Kamu masih di atas sofa. Memeluk dirimu sendiri dalam keadaan mata terpejam. Mungkin mimpimu terlalu monoton atau bisa jadi kamu tidak sedang mimpi sama sekali. Eksperesi wajahmu datar dan hanya hela lepas nafasmu yang bisa kudengar. Segera kuusir dingin yang masih menggerayangimu dengan menutupi tubuhmu dengan selimut. Kamu kembali menggeliat, aku berhati-hati. Takut kalau sentuhan selimut yang baru saja menghangatkanmu merusak tidur pulasmu.
Kamu tidak kedinginan lagi. Aku senang.
Kupadamkan lampu ruang tengah, agar lelapmu semakin nyaman. Selepas itu, aku memasuki dapur yang bersisian dengan tangga ke lantai atas. Kuraih cangkir kaca yang tertangkup di atas meja. Di sebelah cangkir itu, kulihat sekotak teh celup berikut sebungkus gula pasir. Sekarang, rasa kantukku benar-benar sudah hilang. Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah menanti pagi. Dan sepertinya, secangkir teh panas bisa membuat penantianku sedikit lebih menyenangkan.
Aroma teh yang telah kuseduh cukup nikmat. Kuteguk teh berwarna cokelat kemerahan itu perlahan. Merasakan manisnya di lidah lalu menikmati hangatnya saat melewati tenggorokan lalu berhenti di lambung.
Sepuluh menit lagi jam dinding di ruang tengah akan menunjukkan pukul empat dini hari. Aku tidak ambil pusing. Di malam yang dingin ini, aku hanya ingin merenungi keberadaanku. Ngomong-ngomong, kenapa aku bertemu denganmu di tempat seperti ini? Barangkali kamu akan menjawab bahwa memang takdir lah yang menyebabkan pertemuan itu terjadi.
Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan sesuatu yang berbau liburan, apalagi berlibur di puncak. Tapi, aku tidak bisa menolak ajakan Lili saat ia memberitahuku tentang rencananya menghabiskan libur semester di alam terbuka. Ia bahkan merajuk pada ibu dan ayahku agar ia bisa membawaku turut serta dalam agenda liburannya. Ia sukses.
Alhasil, di hari pertama aku menempati villa Lili, aku bertemu denganmu. Waktu itu perbukitan di sekitar villa tidak bisa dilihat dengan jelas. Embun turun dengan ketebalan yang hebat sampai-sampai aku merasa sedang berada di atas awan. Dingin sedikit menusuk tulang, juga membuat bulu-bulu halus di leherku meremang. Aku, yang saat itu sedang duduk santai di teras villa, dikejutkan oleh suara klakson mobil. Itu kamu.
Kamu keluar dari mobil seraya menjinjing sebuah koper berukuran sedang. Bersamaan dengan itu, seorang laki-laki paruh baya keluar dari sisi mobil yang berlawanan, Koh Achan. Baik kamu maupun pamanmu itu, memiliki tiggi dan postur tubuh yang sama. Hanya saja, kamu lebih muda dan tentunya lebih menarik di mataku. Bukannya aku menyanjung atau membual, tapi memang demikianlah adanya. Saat itu, darahku langsung berdesir pada pandangan pertama.
Tidak terpikir olehku bahwasanya kamu juga memiliki rasa humor yang bagus. Kamu mudah menulari tawamu pada siapa saja, termasuk aku. Lili, Rila, dan Anton bahkan seringkali kesulitan untuk menahan tawa karena guyonan-guyonan segarmu. Kata Koh Achan, 'lucu' adalah kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan siapa dirimu. Kendatipun demikian, ada sebagian dari diriku yang ingin menguak sesuatu dari dirimu. Apakah dibalik derai tawamu itu pernah mengalir air mata? Apakah dibalik wajah yang selalu tersenyum itu pernah tergores luka? Aku sangat penasaran dan sayangnya pertanyaan itu masih kupendam.
Dari hari ke hari, aku seperti terlupa tentang rasa engganku untuk menikmati liburan di villa Lili. Aku tak kunjung jengah bersepeda di alam hijau, bersantap barbeque tiap malam, bersantai di halaman belakang sembari menyaksikan air terjun, dan berbagi cerita tiapkali kita semua berkumpul di ruang tengah. Aku bisa menikmati semua itu karena ada kamu.
Dua hari lalu, baru kutahu kalau kamu sudah memiliki seseorang yang spesial. Bahkan, di antara obrolan-obrolan kita, kamu juga menyinggung tentang hubungan manismu dengan orang spesial itu. Walaupun sebagian hatiku tidak ikhlas menerima kenyataan ini, tapi aku masih tak kuasa memalingkan mata darimu. Barangkali beberapa urat syarafku tidak lagi berfungsi secara optimal. Sehingga aku masih mengagumimu untuk alasan yang irrasional. Ya, aku sadar diri. Kamu tidak bisa kumiliki.
Rila dan Anton sesekali menggodaimu dengan kata 'pernikahan'. Menanggapi kata itu kamu tersenyum lebar tanpa memberi ungkapan yang muluk-muluk. Dan Lili, sepupumu yang manis itu, tak pernah bosan menggodaimu sampai akhirnya pipimu bersemu merah. Sementara aku, jauh merasa lebih baik untuk tersenyum lebar saat melihat mereka menggodaimu. Aku tersenyum bukan karena aku bahagia dengan guyonan mereka, tapi aku hanya menyembunyikan rasa sakitku yang tak tertahan. Aku tidak mau mendramatisir keadaan dengan air mata berlinang. Itu bukan aku. Sesakit apa pun, senyumku masih tetap sama. Tetap hangat tapi menyimpan makna yang kadang berlawanan dengan kenyataan.
"Hai," satu sapaan berlabuh di telingaku. Sontak lamunanku terhenti. "Tidak tidur?"
"Aku terjaga."
Kamu menaruh salah satu tanganmu di mulut, menguap. Kantukmu masih bergelantungan di pelupuk mata. "Kenapa tidak tidur lagi?"
Aku angkat bahu. Tersenyum.
Kamu mendekat. Kemudian menarik kursi yang ada di sebelahku. Sekarang, kita duduk bersisian. Denyut jantungku seketika memburu.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Banyak," ujarku hambar.
"Oh, ya?"
Aku mengangguk. Nyaris tanpa ekspresi. Aku tak mau kamu menyelami apa yang sedang kurasakan. Tidak boleh.
"Ceritakan padaku salah satunya."
"Haruskah?"
Kamu tersenyum, "kalau kamu keberatan, aku tak memaksa."
Akhirnya, aku penuhi permintaanmu. Mumpung di ruang ini hanya ada aku dan kamu, kita. Saat-saat yang tak pernah kubayangkan akan ada di dalam hidupku.
Aku mulai bercerita, tentang kisah cintaku yang tak pernah berakhir bahagia. Jujur, cinta itu seperti petir. Tidak ada yang bisa mencegahnya terjadi, hal itu terjadi secara alamiah tanpa rekayasa manusia. Kedengarannya mungkin agak puitis, tapi memang itulah satu-satunya filosofiku tentang cinta.
Kamu mengangguk pelan, kemudian menatapku sendu.
"Intinya, apa itu cinta masih merupakan tanda tanya besar bagiku. Karena itulah aku masih single sampai detik ini."
"Begitu, ya." Timpalmu tanpa meninggikan suara.
"Apa?"
Mulutmu mengatup rapat. Kedua matamu menatapku lurus, seolah-olah ada sesuatu yang kamu cari di kedua bola mataku. Setelah itu, kamu bangkit dari kursi lalu mendekati jendela dapur. Mendadak aku menjadi arca. Tak berucap sepatah kata pun.
"Sebentar lagi pagi," jelasmu datar. "Berbahagialah, karena pagi ini kamu masih hidup untuk mencari arti cinta."
Usai berkata demikian, kamu beranjak dari hadapanku. Dan sementara itu, aku masih menjadi arca di depan secangkir teh manis yang kini telah dingin.
Aku, kamu, dan cinta. Sukar dipahami.
By; Lovero
Tidak ada komentar:
Posting Komentar