Jomblo Bukan Kutukan
Cinta itu seperti perang, mudah dimulai namun sukar diakhiri. Begitulah kata pepatah yang pernah kubaca pada sebuah novel. Bagiku, pepatah tersebut memang benar adanya. Karena aku adalah seorang cewek yang sering jatuh cinta tapi endingnya selalu menyedihkan. Kita sebut saja dengan ‘cinta bertepuk sebelah tangan’.
Meskipun demikian, aku tak bisa membenci cowok-cowok yang sudah menolak cintaku. Menolak atau menerima hati seseorang itu kan hak azasi manusia. Lagian aku juga sudah lega kok setelah mengetahui bagaimana tanggapan mereka. Kan lebih baik nembak duluan daripada nunggu seumur hidup. Bagiku, cinta harus di kejar. Toh udah dikejar aja cinta itu masih sulit kudapat.
“Nin. Abis kuliah sama Pak Burhan kamu pulang sendiri aja, ya.”
“Ha?” Aku mengerutkan dahi pada Cica. “Kok gitu sih?”
“Alan mau ngajak aku dinner.”
“Ooo, gitu.” Tanggapku dengan bibir manyun.
“Jangan childish gitu, dong. Ntar aku bawain deh sepuluh roti cokelat goreng.”
“Bener, nih ?” Aku luluh dan Cica pun mengangguk.
Keterlaluan juga si Cica. Udah ngebiarin sohibnya pulang sendiri, terbakar di bawah terik matahari, dia juga nitip pesan lagi. Pesannya gak pernah berubah. ‘Jangan lupa angkat jemuran kalo hujan turun, ya’.
Saat meratapi nasib diri - lebay banget - aku melirik sebuah toko kue yang terletak di sebelah gerbang kampus. Aku melihat box es krim di sana sehingga secara reflek kakiku langsung menuju tempat itu sambil berharap dahagaku bisa sedikit berkurang setelah mencicipi es krim yang nikmat.
Saking dahaganya, aku langsung menyobek plastik pembungkus es krim lalu menjilatinya seperti anak kecil yang udah dua belas bulan nggak pernah jajan. Setelah itu aku berjalan menuju kasir dengan tangan merogoh saku celana. Oh my God! Nggak ada selembar uang pun di saku celanaku. Bahkan dompet pun juga nggak ada. Mas keriting yang berdiri di belakang mesin kasir menatapku sekilas. Mungkin ia sedang mikir kenapa cewek secantik aku - narsis nih - mau nyari remah-remah roti di lantai untuk kupatok seperti seekor ayam kampung yang lagi keroncongan.
“Nyari apa, Dek?” Tanya seorang cowok jangkung yang mendadak muncul di hadapanku. Aku menengadah lantas berdiri sambil menatapnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Wuis! Cakep banget.
“Oh… Eh! Ini, lagi nyari jepit rambut. Nggak tahu jatuh ke mana.”
“Sini, aku bantu.” Cowok tadi langsung berjongkok lalu memandangi setiap ruang kosong yang ada di bawah rak-rak makanan ringan. Aku harap Mas yang dari tadi ngeliatin aku nggak berpikiran kayak gini ‘wah, kali ini ayam kampung ketemu sama ayam bule’.
“Sorry. Ngerepotin.”
“Nggak apa-apa.”
“Hei!” Terdengar suara serak dari belakang. Mas keriting memandangku aneh. “Es krim kamu itu belum dibayar kan?”
Deg! Perasaanku mulai nggak enak. Bisa kehilangan muka, nih.
“Kamu belum bayar es krim nya, ya?” Cowok cakep tadi mengulangi pertanyaan Mas keriting, namun dengan intonasi yang tidak mengintimidasi.
Belum sempat aku bicara, cowok cakep yang memakai T-Shirt kuning tadi langsung menuju kasir. Ia meminta sebotol parfum dan minyak rambut yang ada di dalam etalase lalu langsung membayarnya. “Sekalian sama es krim yang lagi dimakan sama cewek itu ya, Mas.”
“Thanks, ya.” Ucapku tatkala kami sudah keluar dari toko tadi.
“Ya. Sama-sama. Kenapa kamu nggak jujur aja kalo kamu nggak bawa uang?”
“Aku bawa uang, kok. Cuma… aku nggak ingat dimana udah menaruhnya. Dompetku juga nggak tahu dimana rimbanya.”
“Gitu, ya.” Tanggapnya santai tanpa menaruh empati terhadap the sorrow event yang kualami.
“O, ya. Kenalin, aku Nindi.”
“Nakta” Ia menyambut uluran tanganku dan aku merasa disengat listrik bermuatan cinta ratusan volt.
* * *
Di depan cermin, aku menari-nari lalu melompat kegirangan. Otakku tak kuasa menghentikan denyut jantung yang berkata Nakta, Nakta dan Nakta. Cowok itu berbaik hati mengantarku sampai di depan kos.
Sebenarnya, saat ia menawarkan boncengan aku baru ingat dimana letak dompetku yang hilang itu. Benda dengan diskon tujuh puluh persen tersebut kutaruh di dalam tas. Mungkin karena harganya yang telalu miring itulah menjadi penyebab mengapa aku lebih ingat untuk nonton sinetron setiap malam daripada mengingat dimana aku telah menaruhnya. Daripada memberitahu Nakta bahwa dompetku udah ketemu, aku memilih untuk adem adem ketimun aja. Kalo dia udah tahu dompetku ketemu bisa-bisa aku musti pulang sama delman.
Malam harinya, aku menceritakan peristiwa tadi siang pada Cica. Kejutan! Ternyata ia udah kenal dengan Nakta. Dulu, cowok tersebut adalah ketua OSIS di sekolahnya dan saat itu ia masih kelas satu SMU. Sebagai informasi tambahan, Nakta adalah tipikal cowok yang hobi olahraga dan suka seni beladiri. Namanya sudah sering hilir mudik di koran propinsi berkat kemenangannya dalam berbagai lomba karate. Oleh sebab itu, bukan hal aneh jika ia sering dikejar-kejar cewek.
“Ca. Ada nomor hapenya Nakta, nggak?”
“Nggak ada, Nin.” Jawabannya melenyapkan angan-anganku untuk kembali bertemu Nakta. “Emang buat apa? Naksir, nih?”
“Yaaa, gitu deh.”
“Cie . . . cie. Jatuh cinta lagi,” Cica menyipitkan kedua matanya ditingkahi dengan senyuman nakal. “Ntar, deh. Aku tanyain sama teman-teman lama di Facebook. Siapa tahu aja mereka punya nomor hape Nakta.”
“Lho! Emangnya Nakta nggak ada akun? Kok kamu pake nanya ke teman-teman lama segala.”
“Itu dia masalahnya. Sepanjang yang aku tahu, Nakta itu jarang banget duduk di depan komputer. Ia kan bukan anak rumahan kayak Alan.”
Aku manggut-manggut.
“Hampir aja lupa. Nih, roti cokelat goreng yang aku janji’in.”
“Waah… Maaa Chiii.”
“Gak usah lebay gitu kali. Jangan diabisin semua, ya. Ntar malah sakit gigi lagi.”
Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus seorang diri. Cica nggak bisa masuk karena pagi-pagi buta ia sudah keluar masuk toilet. Pas ditanya, ia mengeluh kalo perutnya mules banget. Ia sempat menyalahkan Alan karena cowok itu telah mengajaknya makan rujak di persimpangan setelah puas nangkring di resto Jepang. Udah gitu, pake acara nambah dua mangkuk lagi. Ha ha ha. Pantesan tuh perut jadi nyahok.
Lima menit yang berlalu membuat kakiku mulai lumutan. Setiap angkot yang ku stop pada penuh semua. Coba tempat kos ku jaraknya cuma sejengkal dari kampus, pasti nggak usah berangkat pake angkot segala. Tapi mau gimana lagi. Kos-kosan di sekitar kampus udah nggak ada yang kosong.
Tiiin! “Tin, tiiin. Eh, Sutin.” Latahku kumat lagi gara-gara klakson sepeda motor.
“Mau bareng, nggak?” tawar cowok yang duduk di sepeda motor gede itu sembari membuka helmnya. “Masih ingat aku, kan?”
Mulutku terganga kagum - pasti bentuknya nggak karuan banget - setelah menyadari satu hal. Dia Nakta. Aku langsung naik ke boncengan tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kalau tetap memaksakan diri untuk bicara, bisa-bisa aku malah gagap.
Kami berhenti di depan gerbang kampusku. Aku mengucapkan terimakasih pada Nakta dan ia pun menanggapinya dengan senyuman yang memukau. Detik itu aku nekat mencubit pahaku sendiri demi memastikan bahwa pemandangan tersebut bukanlah mimpi belaka. Alhasil, aku meringis kesakitan sambil bergumam bahwa sekarang aku berada di alam nyata. Sungguh berita yang bagus.
Jam tanganku menunjukkan pukul tujuh dua puluh menit. Masih ada sedikit waktu untuk memanjakan diri dengan pesona Nakta yang masih berpendar-pendar indah. Tanpa pikir panjang aku langsung meminta nomor hape cowok itu dengan alasan Cica memerlukannya. Waduh, kok aku bisa-bisanya nyebut nama Cica, sih? Nakta tampak kaget ketika aku menyebut nama teman kos ku itu. Ia pun bertanya padaku sudah berapa lama aku dan Cica berteman.
“Kami saling kenal sejak hari pertama pendaftaran kuliah. Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa. Aku jadi ingat aja sama temanmu itu. Tepatnya ketika aku melihat ia memenangkan kontes menyanyi antar sekolah.” Pancaran mata Nakta terlihat sendu saat ia menyelesaikan tiga kata terakhir.
“Oh, ya? Kenapa Cica nggak pernah cerita?”
“Cica bukan tipe cewek yang suka pamer.”
“Ha?” Aku tidak mendengar ucapan Nakta dengan jelas karena sebuah mobil menyalakan klakson dalam tempo yang panjang. “Barusan ngomong apa?”
“Lupain aja.” Senyumnya kembali mekar. “Ini kartu namaku. Kalau ada waktu silahkan datang ke distro. Jangan lupa, Cica juga di ajak, ya.”
Nakta beranjak dari hadapanku. Kartu nama berlatar bintang-bintang di ruang angkasa kupandangi sejenak. Nama distronya keren, Green Galaxi. Di sudut kiri kartu nama tadi tertulis nama Rahardian Dinakta dan nama itu jauh lebih keren ketimbang nama boneka kesayanganku, Sarimin.
* * *
Cica langsung menelepon Nakta ketika aku memperlihatkan kartu nama cowok itu padanya. Begitu telepon diangkat, ia berlari keluar kamar. Dari kejauhan, aku melihat Cica menangis. Aku bertanya-tanya sendiri mengapa ia jadi tidak karuan seperti itu sampai akhirnya ia menceritakan semuanya.
Waktu kelas satu SMU dulu Cica pernah mengikuti kontes menyanyi antar sekolah. Ia berhasil meraih juara pertama dalam kontes tersebut. Saat itulah Nakta yang menjabat sebagai ketua OSIS memberi ucapan selamat secara pribadi padanya. Pertemuan mereka pun berlanjut menjadi sebuah ikatan yang lebih dari teman.
Setahun kemudian, Nakta menamatkan bangku SMU lalu memutuskan untuk kuliah Management di Australia. Sepeninggalnya, Cica yang saat itu duduk di kelas dua, tak sanggup menjalani hubungan jarak jauh dengan Nakta. Akhirnya, ia pun bertemu dengan Alan dan hubungannya dengan Nakta pun perlahan memudar.
Di sisi lain, tiba-tiba Nakta memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan tujuan merayakan setahun hari jadiannya dengan Cica. Lalu, apa yang terjadi? Ia harus kecewa dan tersakiti karena begitu tiba di depan rumah Cica ia bertemu dengan Alan. Bahkan Ia melihat cowok ikal itu mengecup dahi gadis yang ia sayangi. Tindakan tersebut sudah cukup untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
“Hiks…hiks. Aku ini cewek jahat, Nin. Aku tega ninggalin Nakta padahal aku tahu ia begitu tulus sama aku.”
“Udah…. Itu bukan sepenuhnya salah kamu, kok.”
“Maafin aku, Nin. Seharusnya aku tidak menceritakan semua ini sama kamu.” Cica mengusap air matanya yang terus mengalir sembari melepaskan pelukanku. “Aku tahu kamu suka sama Nakta, tapi aku malah . . .”
“Ssst. Udah. Jangan dibahas lagi.”
Aku tak ingin Cica mencurahkan semua isi hatinya. Aku tahu hatinya sedih sekali karena telah mengkhianati kasih sayang Nakta. Tapi bagaimana pun juga, ia harus melupakan semua itu dan jangan mengulangi hal yang sama pada Alan.
“Hiks…. Aku akan membantumu untuk mendapatkan Nakta, Nin.”
“Nggak usah repot. Itu hanya akan membuatmu semakin sulit melupakannya.”
Cica kembali memelukku. Kali ini giliranku yang mulai meneteskan air mata. Niatnya memang baik namun takkan mungkin bagiku untuk menerimanya. Ada satu kemungkinan yang belum ia katakan padaku dan entah berapa persen besar kemungkinan itu aku tidak tahu. Yang jelas, aku yakin sekali bahwa di dalam pancaran matanya masih ada cinta untuk Nakta.
selesai
written by: Sugito Amri, Mahasiswa STAIN BUKITTINGGI
published by : Rakyat Sumbar Utara newspaper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar