Misteri di Kost Anyelir
Pagi itu hujan deras mengguyur seluruh bangunan di Yogyakarta. Dari kejauhan terdengar petir bergemuruh. Aku masih meringkuk di kasur dengan selimut tebal yang menutupi seluruh tubuh. Jika hari ini ada jadwal kuliah, mungkin sekarang aku sudah sibuk berkemas. Mulai dari mandi, sarapan pagi dan seterusnya. Namun detik ini, jangankan mandi, gosok gigi pun belum.
Di sebelahku, tampak Yogi masih nyenyak dalam tidurnya. Tak biasanya ia masih tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Mungkin karena lelah bermain basket kemarin, ia jadi tak kuasa bangun dari tidurnya lalu bergegas mandi seperti hari-hari biasa.
Kucoba untuk kembali terlelap namun gagal. Mataku tak bisa dipejamkan lagi. Oleh sebab itu aku bangkit lalu melangkah ke kamar mandi.
Entah kenapa aku merasa suasana di kost saat itu begitu sunyi dan agak menakutkan. Aku rasa belum ada penghuni kost yang bangun kecuali aku. Saat melewati dua kamar yang saling berhadapan, aku mendengar sesuatu dari kamar mandi. Siapa yang sudah mandi pagi-pagi begini? Bang Arham? Cowok alim itu kan tidur di kost temannya.
Kost yang aku tempati memiliki dua kamar mandi. Keduanya terletak di ujung lorong yang syarat akan nuansa aneh yang sulit untuk di jelaskan. Kamar mandi di sebelah kiri terdengar berisik oleh suara gemiricik air. Sementara yang satunya lagi mungkin masih kosong. Karena tak satu pun suara yang bisa kudengar dari sana.
Kuraih gagang pintu kamar mandi yang kukira masih kosong. Tiba-tiba seseorang membuka pintu tersebut dari dalam. Aku kaget dan nyaris terpaku untuk beberapa saat. Rupanya Syarif, cowok dari kamar kost sebelah. Wajahnya seperti bulan kesiangan karena kondisinya sedang tidak sehat. Ia berlalu begitu saja di hadapanku tanpa sebuah sapaan hangat di pagi hari.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi di sebelahku juga terbuka. Mataku terbelalak. Yogi? Bukankah ia masih tidur di kamar? Aku mengucek kedua mataku sembari berharap ini hanya halusinasi. Daripada mati ketakutan terhadap apa yang sedang kualami, kutinggalkan Yogi yang menatapku keheranan kemudian berlari ke kamar kami.
Setelah pintu kamar di buka, aku seperti seorang kakek yang tidak sengaja melihat korban tabrak lari. Ada dua Yogi! Kontan saja kedua lututku mulai gemetar dan kerongkonganku terasa berat. Pintu kamar di belakangku berdecit lalu seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Hei. Kenapa lo?”
Aku menoleh ke belakang dan kudapati Yogi di sana.
“Kayaknya lo lagi kurang sehat, deh.” Setelah Yogi berkata demikian aku kembali memandang ke depan dan aku rasa aku memang kurang sehat. Yogi yang tadinya masih lelap di atas kasur menghilang sekejap mata.
* * *
was drawn by : Mogit |
Pikiranku mulai tidak tenang sejak kejadian ‘Dua Yogi’ itu. Oleh sebab itu, aku sering ketakutan bila sendirian di kamar. Sepertinya, Yogi menyadari hal ini dan ia meminta penjelasanku atas apa yang telah terjadi.
Awalnya aku menolak untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya. Tapi karena terus di desak, aku pun menyerah. Yogi mendengarkan pengakuanku dengan seksama. Bahkan ia sempat memegang tengkuknya sebagai pertanda bulu kuduknya sudah berdiri setelah mendengar kata-kata yang kuucapkan.
Teng, teng. Lonceng besi kecil yang tergantung di belakang pintu utama berbunyi. Sepertinya salah satu penghuni kost baru pulang kuliah. Untuk masuk ke kamar masing-masing, semua penghuni kost harus melewati satu pintu dan pemilik kost ini sering menyebut pintu tersebut dengan pintu utama. Setelah pintu tersebut dibuka, maka akan terlihat tiga kamar di sebelah kiri dan tiga kamar di sebelah kanan. Satu kamar tak diisi karena beralih fungsi menjadi gudang. Sementara di ujung lorong yang diterangi satu lampu, terdapat dua kamar mandi untuk seluruh penghuni kost.
Tok! Tok! Tok! Pintu kamar kami yang di atasnya ada ladam kuda diketuk seseorang. Yogi segera membuka pintu lantas kulihat seorang wanita berusia empat puluhan berdiri di hadapannya. Kami memanggil wanita itu dengan Bu Anye, pemilik tunggal kost yang kini kami tempati.
“Kayaknya Ibu mengganggu, deh.” Katanya dengan aksen yang tampak dibuat-buat.
“Oh. Nggak, kok.” Tukasku cepat. “Ada apa, Bu?”
“Yogi udah bayar uang kostnya seminggu yang lalu,” Bu Anye melirik Yogi sambil tersenyum. “Kamu kapan, Do? Udah telat banget lho.”
“Hehe…” aku tertawa canggung. “Senin depan, Bu. Soalnya kiriman dari rumah belum nyampe. Nggak apa-apa kan, Bu?”
“Begitu, Ya?” Aku mengangguk. “Oke. Ibu tunggu janji nya Senin depan.”
Yogi buru-buru menutup pintu setelah Bu Anye beranjak dari hadapannya. Ia kembali duduk di hadapanku lalu berkata bahwa seluruh persendiannya terasa geli saat wanita yang ber-make up tebal itu tersenyum padanya. Kuakui hal itu memang seharusnya terjadi karena sikap Bu Anye tak jauh beda dengan para ABG. Sok gaul dan agak kegatelan. Lihat saja dari senyumnya tadi. Jelas sekali kalau ia menaruh rasa kagum pada Yogi yang udah cakep dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Malam harinya, aku bertandang ke kamar Bang Arham. Yogi baru saja keluar. Katanya mau bikin tugas kelompok di rumah teman dan pulangnya mungkin agak telat. Jadi, daripada sendirian di kamar dan ketakutan, aku terpaksa mengganggu Bang Arham yang sedang asyik membaca novel.
“Baca Novel apa, Bang?” Tegurku dari pintu kamar Bang Arham yang dibiarkan terbuka.
“Eh? Kamu, Do. Tumben ke sini, biasanya sibuk di kamar terus.”
“Hahaha. Bang ngomongnya kayak jarak kamar kita seratus kilometer aja. Ngomong-ngomong, baca novel apa, Bang? Asyik amat.”
“Oh, ini.” Bang Arham memperlihatkan cover novel yang ia baca padaku dan perasaanku mulai tak enak. Novel serem. “Ceritanya bagus lho, Do. Mau baca?”
“Makasih, Bang. Kayaknya aku nggak kuat baca yang begituan. Apalagi malam-malam begini. Sereeem.”
Sepanjang yang aku tahu, hampir tiga tahun Bang Arham tinggal di kost ini. Aku tahu hal itu karena Bu Anye sendiri yang bercerita begitu padaku. Bahkan ia juga bercerita panjang lebar tentang kepribadian Bang Arham yang patut dipuji. Mau tidak mau, aku berkesimpulan bahwa dari sepuluh penghuni kost yang ada, Bang Arham adalah anak emas di kost ini.
“Boleh gabung?” Seseorang mendongakkan kepalanya dari pintu kamar.
“Boleh.” Sahut Bang Arham pada Syarif. “Masuk aja.”
“Gimana keadaan lo? Udah baikan?” Tanyaku setelah Syarif ikut duduk bersama kami.
“Udah.”
“Emangnya kemarin itu sakit apa, Rif?” Kali ini Bang Arham yang bertanya.
“Entahlah.”
“Maksud lo?” Aku penasaran.
“Sakit yang aneh. Sekaligus menakutkan.”
Bang Arham mengerutkan dahinya setelah mendengar pernyataan Syarif yang terkesan mengada-ada. “Menakutkan bagaimana maksud kamu, Rif?”
“Hantu.”
Kami terdiam. Sesuatu yang menakutkan untuk kuingat muncul kembali. ‘Dua Yogi’
“Waktu itu tengah malam,” Syarif menuturkan kejadian yang ia alami tanpa kami pinta. “Aku terjaga dari tidur kemudian keluar dari kamar. Saat itu aku ingin buang air kecil. Rasanya sudah tidak tahan lagi. Setelah menekan sakelar, lampu di lorong pun menyala. Aku melangkah ke kamar mandi dan tiba-tiba lampu yang tadinya menyala mendadak padam. Kemudian ….”
“Apa? Apa yang terjadi?” Aku penasaran.
“Aku berhenti melangkah lalu mengamati keadaan sekitar untuk sesaat. Gelap. Satu satunya cahaya yang bisa kulihat adalah cahaya bulan di luar ventilasi udara. Ketika aku kembali melangkah, aku menabrak sesuatu. Dalam kegelapan, aku berjongkok. Mencoba meraba seseuatu yang telah menghalangi jalanku. Tiba-tiba lampu yang tadinya padam menyala kembali. Saat itulah aku terkejut. Di lantai, tergeletak sesosok tubuh yang berlumur darah dan lumpur. Mulutnya menganga sementara kedua matanya terbelalak ke plafon.”
Glek. Aku menelan ludah sedangkan Bang Arham tak bergeming sedikit pun.
“Selanjutnya, Bu Anye membuatku siuman. Katanya, aku pingsan di depan kamar mandi setelah terpeleset. Aku kembali ke kamar dan meyakinkan diriku bahwa beliau tidak berbohong dan yang kulihat detik itu bukanlah hantu. Esok harinya aku demam dan sering mengalami mimpi buruk.”
Syarif telah menyelesaikan ceritanya tentang kejadian menakutkan yang ia alami di kost ini. Oleh sebab itu, aku merasa ada baiknya jika aku juga menuturkan tentang ‘Dua Yogi’ itu. Jadi, kuceritakan kejadian tersebut dari awal sampai akhir. Aku harap, jawaban atas semua ini bisa kami ketahui secepat mungkin sebelum kejadian-kejadian yang tidak diharapkan mengapung ke permukaan.
* * *
Pagi itu aku dan Bang Arham pergi ke warung Mbok Imah. Kami berniat membeli sarapan pagi seperti lontong, bubur ayam, bubur kacang ijo dan sebagainya. Maklum saja, sebagai anak kost, sudah lumrah jika kami jajan di luar untuk mengisi perut bila lauk-pauk tempo hari sudah habis.
Dari kejauhan, tampak Mbok Imah sedang melayani para pembeli. Padahal masih pukul tujuh pagi, tapi dagangannya sudah hampir habis. Nggak heran juga, sih. Karena dagangan beliau terkenal nikmat dan harganya terjangkau.
“Eh, Arham! Udah lama nggak ke sini. Kemana aja atuh, Nak?”
“Biasalah, Mbok. Kadang-kadang urusan kuliah menyita waktu.”
“Oh, gitu.” Mbok Imah manggut-manggut. “Ngomong-ngomong, yang ikut sama kamu ini sopo to?”
“Aldo, Mbok.” Aku memperkenalkan diri.
“Nak Aldo satu kost sama Nak Arham?”
“Iya, Mbok.”
“Mudah-mudahan betah di sana, ya. Jangan sampai kayak anak-anak kost tahun lalu itu lho. Masa hampir semuanya kompak pindah dari kost Bu Aa… Aduh, sopo toh namanya?”
“Bu Anyelir, Mbok.” Bang Arham mengoreksi.
“Iya. Itu maksud aku. Aduuuh, mungkin udah mulai pikun aku ini.”
Dari percakapan itu tak ada salahnya jika aku berspekulasi bahwa Bu Anyelir bukanlah tipikal orang yang disenangi warga sekitar. Entah kenapa aku merasa kalau Mbok Imah seperti sedang memberiku sebuah peringatan agar segera hengkang dari kost yang aku tempati sekarang.
Dalam perjalanan pulang, Bang Arham dan aku dibalut oleh kekakuan. Sepertinya ia ingin menyampaikan sesuatu padaku dan aku yakin ia harus menyampaikan hal itu secepat mungkin. Jadi, aku memberanikan diri membuka percakapan dengannya setelah kami sarapan pagi.
“Bang, kenapa tadi Mbok Imah bicaranya aneh begitu?”
“Aneh gimana?” Bang Arham menatapku sepintas lalu.
“Kok Mbok Imah bilang, anak-anak kost tahun lalu kompak pindah dari kost ini? Apa itu nggak aneh?”
“Oh, itu.” Mata Bang Arham meredup. “Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.”
Hampir tiga tahun tinggal di kost Bu Anye, tidak sedikit kejadian aneh yang pernah di alami Bang Arham. Pada suatu malam ia pernah menyaksikan Bu Anye berteriak-teriak tak menentu sambil bergelantungan di terali-terali jendela. Saat itu suaminya sedang berada di rumah, baru pulang dari Malaysia. Semua penghuni kost, yang saat itu berjumlah delapan orang, berupaya agar Bu Anye tidak keluar dari rumah. Setelah Bu Anye berhasil ditenangkan, suami beliau beserta Bang Arham yang pengetahuan agamanya lumayan dalam, membacakan ayat-ayat suci Al-Quran padanya. Alhasil, kondisi Bu Anye pulih perlahan.
Esok harinya, suami Bu Anye menceritakan sesuatu pada Bang Arham. Dulu, tepatnya delapan tahun setelah mereka menikah, wanita tersebut pernah mempelajari ilmu sesat di berbagai tempat. Sebagai akibatnya, ia memiliki ‘ternak’ yang banyak di rumah. Jadi, bukan hal yang asing lagi bila Bu Anye kerasukan seperti tempo hari. Boleh jadi detik itu ‘ternak’ beliau memberontak dan konsekuensinya terjadilah semacam perlawanan.
“Kasihan Pak Rohan. Ia agak terlambat mengetahui siapa sebenarnya Bu Anye.” Bang Rohan menarik napas panjang.
“Lalu, setelah tahu Bu Anye seperti itu, kenapa Pak Rohan tidak menceraikannya, Bang?”
“Kalau soal itu, Bang kurang tahu. Mungkin karena sudah memiliki empat orang anak, Pak Rohan tidak sampai hati menceraikannya.”
Bang Arham juga menjelaskan padaku tentang beberapa hal yang kelihatan asing di kost ini. Dua diantaranya adalah lonceng dan ladam kuda. Untuk apa lonceng di gantungkan di belakang pintu? Entahlah, aku tak berani menanyakannya.
Bang Arham pernah mengambil lonceng itu lantas membuangnya jauh dari tempat kost. Anehnya, esok hari lonceng tersebut kembali ke tempat semula dan tidak ada satu pun tanda yang mengindikasikan lonceng tersebut adalah lonceng yang baru.
“Kenapa semua ini nggak Bang ceritakan dari awal?”
“Kamu nya nggak pernah nanya, sih.” Tukas Bang Arham sembari tersenyum.
“Jadi, Bang hanya akan menjelaskan semua ini bila teman-teman di kost mengajukan pertanyaan?”
Bang Arham mengangguk dan rasanya masih ada pertanyaan yang ingin kuajukan padanya.
Kenapa Bang Arham masih betah tinggal di kost ini setelah mengetahui semuanya?
* * *
Dua hari kemudian aku pindah dari kost Bu Anye. Yogi dan Syarif juga melakukan hal yang sama. Sementara Bang Arham, masih bertahan di kost itu.
Ketika aku akan meninggalkan kost Bu Anye, aku memberanikan diri bertanya pada Bang Arham kenapa ia tidak ikut pindah bersama kami. Ia tersenyum lantas berkata bahwa ia merasa bertanggung jawab menjaga teman-teman yang masih tinggal di kost tersebut. Termasuk para calon penghuni kost tahun depan. Itupun jika ia masih hidup, akunya dengan nada suara yang datar.
Oh, Tuhan. Apakah ia akan tinggal di sana untuk waktu yang lama? Entahlah.
SELESAI
written by: Sugito Amri, Mahasiswa STAIN BUKITTINGGI
published by : Rakyat Sumbar Utara newspaper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar